Jumat, 13 Januari 2012

Gharar, Maisir, Riba, dan Dzat yang Dilarang serta Argumentasi atas Pelarangannya


I.                   PENDAHULUAN
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain: (Q.S 5:3, 6:38, 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak dan ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al-Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/masalah ekonomi).
Sejak zaman Rasulullah saw semua bentuk perdagangan yang tidak pasti (uncertainty) telah dilarang, berkaitan dengan jumlah yang tidak ditentukan secara khusus atas barang-barang yang akan ditukarkan atau dikirimkan. Bahkan disempurnakan pada zaman kejayaan Islam (bani Umayyah dan Abbasiyah) dimana kontribusi Islam adalah mengidentifikasi praktik bisnis yang telah dilakukan harus sesuai dengan Islam, selain itu mengkodifikasikan, mensistematis dan memformalisasikan praktik bisnis dan keuangan ke standar legal yang didasarkan pada hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.[1]
Pelarangan gharar, maisir dan riba semakin relevan untuk era modern ini karena pasar keuangan modern banyak mengandung usaha memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain (dalam asuransi konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian). Dimana setiap usaha bisnis pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melalukan transaksi dalam pasar keuangan.
Dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang konsep dasar dan defenisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “gharar, maisir, riba dan segala dzat yang dilarang”
II.                PEMBAHASAN
A.  Gharar
1.    Pengertian dari Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. Dalam kitab fikih, gharar berasal dari kata Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathar (pertaruhan) dan menghadang bahaya.[2] Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah).[3] Sedangkan menurut Al-Musyarif, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan) serta jual beli dalam bahaya, yang tidak diketahui harga, barang, keselamatannya, dan kapan memperolehnya, dan hal ini termasuk dalam kategori perjudian.
Menurut ahli bahasanya lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang lahirnya menggiurkan pembeli sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari menyatakan: “Termasuk dalam jual beli gharar semua jual beli tidak jelas yang mana kedua pihak berakad tidak mengetahui hakikatnya sehingga ada faktor atau pihak lain yang menjelaskannya.[4]
2.    Dalil tentang Pelarangan Gharar
Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar yang dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa rujukan hadist antara lain:
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar. Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu telah diketahui keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan baginya mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung unsur penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.[5] “Rasulullah SAW telah melarang jual beli muhaqalah, muzabanah dan tsunayya, kecuali jika telah diketahui” (HR At Tirmizi).
3.    Hukum-hukum Gharar dan Hikmah dari Adanya Larangan Jual-Beli Gharar
Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:[6]
a.    Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al-gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual beli mulaamasah, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih, bai’ al-madhamin, dan sejenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
b.    Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad. Contohnya seseorang membeli rumah dengan tanahnya
c.    Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya.
Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain. Oleh karena itu dapat dilihat adanya hikmah larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas (Gharar) ini. Dimana dalam larangan ini mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis jual beli ini.
4.    Klasifikasi Gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.
a.    Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh.
b.    Zero Sum Game
     Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi)[7] juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.
c.    Normal Exchange
     Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.
     Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi).[8] Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat.[9]
     Dimana menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan.[10] Jadi utilitas individu dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.
d.   Risk Concept
     Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921) risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur. Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis.
5.    Dampak dari Gharar, Alasan Pelarangan Gharar beserta Contoh Singkatnya.
Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dan menjamin keadilan.
Ketidaktentuan dan ketidakjelasan berkenaan timbul khususnya daripada aspek-aspek berikut:
·      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
·      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan ataupun tidak;
·      Kaedah transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas tetapi menarik perhatian sehinggakan mungkin wujud elemen penipuan bagi menarik pihak-pihak untuk bertransaksi;
·      Akad atau kontrak yang mendasari sesuatu transaksi itu sendiri sifatnya tidak jelas.
Contoh jual-beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak lembu yang masih di dalam perut ibunya. Menjual burung yang terbang di udara. Ia menjadi gharar karena tidak dapat dipastikan. Yang menjadi pertanyaan adalah Sempurnakah janin yang akan dilahirkan, dapatkah ditangkap burung itu. Maka, jika harga dibayar, tiba-tiba barangnya tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati hingga terjadi permusuhan dan keributan. Islam melarang gharar untuk menghindari kejadian seperti ini. Akan tetapi, Islam memaklumi gharar yang sedikit yang tidak dapat dielakkan.
Contoh berikutnya, Gharar/ketidakjelasan bisa terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.

B.  Maisir
1.    Pengertian dari Maisir dan Dalil yang Mendasari Pelarangannya
Kebiasaannya perjudian (maisir) menerangkan permainan yang memberi peluang pada nasib daripada permainan yang menunjukkan skill kemahiran. Walaupun perjudian ini biasanya dimotivasikan dengan kegembiraan, pada masa yang sama mendapat ganjaran yang berganda, namun terdapat risiko transaksi yang dimotivasikan oleh insentif sebenar. Kita sudah maklum bahawa maisir telah diamalkan sejak zaman Arab Jahiliyyah untuk membantu kepada orang yang susah dan memberi kepada orang yang memerlukan.
Perbedaan antara perjudian dan gharar di dalam transaksi ialah telah mengurangkan, dan oleh itu ahli ekonomi telah menyedari akan struktur pada kedua-duanya. Menurut pendapat Ahli Ekonomi Goodman (1995): Pertambahan peningkatan bagi bisnes perjudian di dalam beberapa tahun dilihat melebarkan banyak masalah di dalam Ekonomi Amerika terutamanya kecenderungan perkembangan mengendalikan nasib ekonomi yang dilihat bertentangan dengan asas kemahiran dan kerja sebenar.
Maysir atau Qimar secara harfiah bermakna judi. Secara tekniknya adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa loteri) yang diambil dari pihak yang kalah untuk pihak yang menang
Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:
1.    Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi
2.    Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah
3.    Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya
Jika 3 syarat diatas terpenuhi maka termasuk kategori judi dan Islam mengharamkannya.
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (al-maysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Al-Maidah 90)
Disebutkan bahawa istilah lain dari judi adalah spekulasi. Hal ini biasa terjadi dalam bursa saham. Setiap menitnya selalu saja terjadi transaksi spekulasi yang sangat merugikan penerbit saham. Setiap perusahaan yang memiliki right issue selalu saja didatangi para spekulasi. Ketika harga saham suatu badan usaha sedang jatuh maka spekulan buru-buru membelinya sedangkan ketika harga naik para spekulan menjualnya kembali atau melepas ke pasar saham. Hal ini sering membuat indeks harga saham gabungan menurun dan mempeburukkan perekonomian bangsa.
Makna Bahasa: Maisir dan Undian
Maisir dan qimar adalah dua kata dalam bahasa Arab yang artinya sama,yaitu menjadi judi
Makna Istilah: Maisir dan Undian
Berikut beberapa definisi judi (Maisir/Qimar) :
Menurut Ibrahim Anis dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 758 menyatakan bahawa judi adalah setiap permainan (la’bun) yang mengandung taruhan dari kedua pihak (muraahanah).
Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Rawa’i’ Al-Bayan fi Tafsir Ayat Al-Ahkam (I/279),menyebut bahawa judi adalah setiap permainan yang menimbulkan keuntungan (rabh) bagi satu pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya.
Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga darinya dapat disimpulkan sebuah definisi judi yang menyeluruh. Jadi, judi adalah segala permainan yang yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dimana pihak-pihak yang menang mengambil harta/materi dari pihak yang kalah.
Dengan demikian, dalam judi terdapat tiga unsur :
(1)      Adanya taruhan harta/materi (yang berasal dari kedua pihak yang berjudi),
(2)      Ada suatu permainan, yang digunakan untuk menetukan pihak yang menang dan yang kalah, dan
(3)      pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya/kelipatan) yang menjadi taruhan (murahanah), sedang pihak yang kalah akan kehilangan hartanya.

C.  Riba
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” al-Quran 2 : 275 – 278
Malik meriwayatkan kepadaku bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata, “Jika seseorang membuat pinjaman, mereka tak boleh menetapkan perjanjian lebih dari itu. Meski hanya segenggam rumput, itu adalah riba.” Al-Muwatta Imam Malik : 31.44.95
Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi, dalam bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’
Kelebihan ini mengacu pada dua hal:
1.Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot maupun ukuran, dan
2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.
Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd (al-hafid) seorang fakih, dalam kitabnya Bidaya al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd memaparkan beberapa sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi:
a.         Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran (dalam pelunasan) dan saya akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)
b.         Penjualan dengan penambahan yang terlarang;
c.         Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;
d.        Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
e.         Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;
f.          Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;
g.         Penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;
h.        atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.
Ada dua jenis riba:
1.    Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang
Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja seperti bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.
Riba al-fadl mengacu pada jumlah (kuantitas). Riba an-nasiah mengacu pada penundaan waktu. Riba al-fadl sangat mudah untuk dipahami. Dalam peminjaman, riba al-fadl merupakan bunga yang harus dibayar. Namun pada umumnya riba ini mewakili peningkatan tambahan terhadap nilai tanding yang diminta oleh satu pihak.
2.    Riba an-nasiah adalah kelebihan karena penundaan
Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam waktu (penundaan) yang secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang berlangsung. Penundaan ini tidak dibolehkan. Hal ini mengacu pada benda nyata (‘ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium pembayaran (emas, perak dan bahan makanan – yang digunakan sebagai uang).
Riba an-nasiah secara khusus mengacu pada penggunaan dayn dalam pertukaran (safar) jenis benda yang serupa. Tetapi pengharaman ini diperluas sampai perdagangan umum jika dayn mewakili uang yang melampaui ciri privatnya dan menggantikan ‘ayn sebagai alat pembayaran umum. Memahami riba an-nasiah amat sangat penting agar mampu mengerti kedudukan kita berkenaan dengan uang kertas. Alasan mengapa kaum ulama modernis mengambil pandangan yang menyimpang tentang riba jelas-jelas untuk mensahkan perbankan yang sebetulnya tidak bisa diterima. Pembenaran ini kemudian hari menjelma menjadi perbankan Islam. Prinsip darurat digabung dengan penghapusan riba an-nasiah telah memungkinkan mereka membenarkan penggunaan uang kertas dan pada gilirannya membenarkan perbankan dengan cadangan uang (fractional reserve banking) yang merupakan basis sistem modern perbankan.

D.  Dzat yang Dilarang dan Argumentasi atas Pelarangannya
Dalam Qur’an beberapa dzat yang dilarang, diantaranya : alkohol (khamr), babi, darah, dan bangkai.
Tentang ini bisa dilihat pada ayat al Quran : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS Al Baqoroh: 219).
Juga pada ayat yang lain disebutkan : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An Nahl 115)
Menyinggung sedikit tentang masalah rokok, karena Muhammadiyah belum lama ini mengeluarkan fatwa haramnya rokok. oleh karena itu, disini akan dijelaskan sedikit secara saintifik, mengapa zat-zat tersebut haram. Kira-kira seperti apa penjelasannya, sehingga masyarakat tidak hanya tau bahwa hukumnya haram, tetapi juga alasan mengapa zatnya diharamkan. Diharapkan dengan adanya penjelasan secara saintifik, akan menambah keyakinan akan haramnya zat-zat yang memang dinyatakan haram tersebut.
Ketika menjelaskan manfaat dan mudharat alkohol, maka sudah banyak dipersiapkan bahan perihal alkohol tersebut. Tentang bahaya alkohol telah banyak diperbincangkan di berbagai kesempatan. Benar adanya jika dikatakan pada jumlah tertentu dan bentuk tertentu, alkohol bermanfaat. Alkohol memang merupakan pelarut yang baik untuk banyak jenis obat, alkohol juga penyari yang baik bagi zat-zat dari dalam tanaman. Ia juga punya efek antiseptik (untuk pemakaian luar). Tetapi bahayanya memang  lebih besar daripada manfaatnya. Di banyak kesempatan para ahli menyarankan pada jama’ah/masyarakat luas untuk  jeli jika memilih obat dalam bentuk sirup yang kadang mengandung etanol/alkohol sebagai pelarut. Walaupun mungkin tidak sampai memberikan efek memabukkan, tetapi untuk prinsip kehati-hatian lebih baik dihindarkan, kecuali jika memang tidak ada pilihan yang lain. Adapun cara untuk mengetahui obat yang akan digunakan bebas alkohol atau tidak bisa dengan menanyakannya terlebih dahulu kepada apoteker yang lebih mengerti mengenai obat-obatan tersebut.
Juga tentang rokok yang lebih banyak merugikan daripada bermanfaat, rasanya tidak terlalu sulit karena banyak informasinya. Korelasi paparan rokok dengan kejadian kanker paru dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) mudah dijumpai di mana-mana. Bangkai dan darah juga demikian, relatif tidak kesulitan. Dan dalam babi sendiri terkandung cacing pita, yang mana mudharatnya lebih besar daripada manfaat yang didapat.

III. PENUTUP
Dari berbagai pemaparan diatas dapat kita ambil beberapa poin, diantaranya :
1.    Segala bentuk pekerjaan, transaksi yang mengandung unsur maisir, gharar, riba adalah haram hukumnya.
2.    Baik maisir, gharar maupun riba, apabila salah satu dari ketiganya dijalankan maka sesungguhnya akan ada salah satu pihak yang dirugikan.
3.    Ketidaktentuan dan ketidakjelasan berkenaan timbul khususnya daripada aspek-aspek berikut:
·      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
·      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan ataupun tidak;
·      Kaedah transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas tetapi menarik perhatian sehinggakan mungkin wujud elemen penipuan bagi menarik pihak-pihak untuk bertransaksi;
·      Akad atau kontrak yang mendasari sesuatu transaksi itu sendiri sifatnya tidak jelas.
4.    judi adalah segala permainan yang yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dimana pihak-pihak yang menang mengambil harta/materi dari pihak yang kalah.
5.    Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi, dalam bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’
6.    Beberapa dzat yang haram hukumnya seperti alkohol, daging babi dan bangkai telah termaktub dalam kalam Ilahi sebagaimana berikut :
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An Nahl 115)

Daftar Pustaka :
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004.
Karim , Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin. Jakarta: Migunani, 2008.
Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com
Gharar, Maisir dan Riba Dalam Muamalat Islam. Mahir al-hujjah. Diposting pada tanggal 3 Agustus 2009
Zullies Ikawati. Babi Mirip Manusia(Maap). Zullis Ikawati’s Weblog. Diposting pada tanggal 2 Juni 2010

[1] Abbas Mirakhor dan Zamir Iqbal, Pengantar Manajemen Keuangan Islam dari Teori ke Praktik, edisi terjemahahan. Jakarta: Kencana, 2008.
[2] Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
[3] Majmu Fatawa, 29/22
[4] Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin. Jakarta: Migunani, 2008. lihat juga: al-jauhariy, ash-shahih, 23:786
[5] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq, hal 459
[6] ibid Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad hal 289.
[7] Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com
[8] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004. hal 193
[9] al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’im. Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1997. hal 555.
[10] Adiwarman, Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hal 62

2 komentar:

  1. Assalammualaikum ukhti...
    ekonom rabbani??

    invite blog ana ya..
    laskarkencana.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.. maaf baru bisa membalas comment, ok insyaAllah.

      Hapus